Halo, saya Prita
Halo, saya Prita
dan ini adalah cerita saya.
dan ini adalah cerita saya.
Nama saya Prita, seorang ibu rumah tangga yang sudah tinggal selama 20 tahun di Tangerang. Sebelumnya, saya menghabiskan masa kecil saya di Yogyakarta, dan ada satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
Nama saya Prita, seorang ibu rumah tangga yang sudah tinggal selama 20 tahun di Tangerang. Sebelumnya, saya menghabiskan masa kecil saya di Yogyakarta, dan ada satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
Nama saya Prita, seorang ibu rumah tangga yang sudah tinggal selama 20 tahun di Tangerang. Sebelumnya, saya menghabiskan masa kecil saya di Yogyakarta, dan ada satu pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan.
Suatu hari ketika saya berusia sekitar 17 tahun, ibu saya sakit dan didiagnosa mengalami satu Penyakit Kritis yang tidak dapat disembuhkan dan diperkirakan akan mengakibatkan kematian dalam waktu kurang dari setahun.
Suatu hari ketika saya berusia sekitar 17 tahun, ibu saya sakit dan didiagnosa mengalami satu Penyakit Kritis yang tidak dapat disembuhkan dan diperkirakan akan mengakibatkan kematian dalam waktu kurang dari setahun.
Suatu hari ketika saya berusia sekitar 17 tahun, ibu saya sakit dan didiagnosa mengalami satu Penyakit Kritis yang tidak dapat disembuhkan dan diperkirakan akan mengakibatkan kematian dalam waktu kurang dari setahun.
Ayah saya sendiri sudah meninggal saat saya berusia 10 tahun, dan sejak itu saya hidup bersama ibu dan dua orang adik laki-laki saya. Bayangkan, ibu menjadi orangtua tunggal dan suatu hari beliau terkena Penyakit Kritis Stadium Akhir saat semua anaknya masih sekolah. Setelah berjuang beberapa bulan, Ibu akhirnya meninggal dunia.
Ayah saya sendiri sudah meninggal saat saya berusia 10 tahun, dan sejak itu saya hidup bersama ibu dan dua orang adik laki-laki saya. Bayangkan, ibu menjadi orangtua tunggal dan suatu hari beliau terkena Penyakit Kritis Stadium Akhir saat semua anaknya masih sekolah. Setelah berjuang beberapa bulan, Ibu akhirnya meninggal dunia.
Ayah saya sendiri sudah meninggal saat saya berusia 10 tahun, dan sejak itu saya hidup bersama ibu dan dua orang adik laki-laki saya. Bayangkan, ibu menjadi orangtua tunggal dan suatu hari beliau terkena Penyakit Kritis Stadium Akhir saat semua anaknya masih sekolah. Setelah berjuang beberapa bulan, Ibu akhirnya meninggal dunia.
Saya (berbaju putih) duduk di tengah bersama kedua orangtua saya semasa mereka masih hidup, di kiri-kanan saya keduanya adalah adik laki-laki saya.
Saya (berbaju putih) duduk di tengah bersama kedua orangtua saya semasa mereka masih hidup, di kiri-kanan saya keduanya adalah adik laki-laki saya.
Saya (berbaju putih) duduk di tengah bersama kedua orangtua saya semasa mereka masih hidup, di kiri-kanan saya keduanya adalah adik laki-laki saya.
Salah satu yang membuat kami menyesal adalah bahwa kami terlambat menyadari sakit yang Ibu derita, karena takut kalau kami tidak punya cukup uang untuk membayar Biaya Pemeriksaan yang dirasa mahal. Maklum, saat itu kami tidak punya Asuransi, jadi kami harus membayar sendiri semua biayanya. Ayah kami sendiri tidak meninggalkan tabungan buat kami ketika ia meninggal dunia, jadi bisa dibayangkan betapa beratnya beban ekonomi keluarga kami saat itu ketika Ibu terdiagnosa alias divonis terkena Penyakit Kritis. Untung saja waktu itu kami banyak dibantu oleh Adik Kandung Ibu - yang berarti juga Tante saya - dalam membayar Biaya Perawatan & Pengobatannya, walaupun saya tahu persis Tante saya sampai harus mencairkan Deposito Hari Tua-nya.
Salah satu yang membuat kami menyesal adalah bahwa kami terlambat menyadari sakit yang Ibu derita, karena takut kalau kami tidak punya cukup uang untuk membayar Biaya Pemeriksaan yang dirasa mahal. Maklum, saat itu kami tidak punya Asuransi, jadi kami harus membayar sendiri semua biayanya. Ayah kami sendiri tidak meninggalkan tabungan buat kami ketika ia meninggal dunia, jadi bisa dibayangkan betapa beratnya beban ekonomi keluarga kami saat itu ketika Ibu terdiagnosa alias divonis terkena Penyakit Kritis. Untung saja waktu itu kami banyak dibantu oleh Adik Kandung Ibu - yang berarti juga Tante saya - dalam membayar Biaya Perawatan & Pengobatannya, walaupun saya tahu persis Tante saya sampai harus mencairkan Deposito Hari Tua-nya.
Salah satu yang membuat kami menyesal adalah bahwa kami terlambat menyadari sakit yang Ibu derita, karena takut kalau kami tidak punya cukup uang untuk membayar Biaya Pemeriksaan yang dirasa mahal. Maklum, saat itu kami tidak punya Asuransi, jadi kami harus membayar sendiri semua biayanya. Ayah kami sendiri tidak meninggalkan tabungan buat kami ketika ia meninggal dunia, jadi bisa dibayangkan betapa beratnya beban ekonomi keluarga kami saat itu ketika Ibu terdiagnosa alias divonis terkena Penyakit Kritis. Untung saja waktu itu kami banyak dibantu oleh Adik Kandung Ibu - yang berarti juga Tante saya - dalam membayar Biaya Perawatan & Pengobatannya, walaupun saya tahu persis Tante saya sampai harus mencairkan Deposito Hari Tua-nya.
"Semua bisa habis dalam sekejap."
"Semua bisa habis dalam sekejap."
"Semua bisa habis dalam sekejap."